Langsung ke konten utama

Filosofi Rumah

Layaknya seekor burung, membuat sarang untuk tempat mereka berteduh, berbagi makanan dan tumbuh bersama dengan orang yang dicintai. Sejauh apapun burung terbang, dia akan kembali di waktu senja ke sarangnya. Sekalipun harus pergi lagi, tetapi ada rumah yang terbuka untuk mereka kembali. Seperti itulah rumah....
               
                27-05-2015 | 02:00 p.m. |Kutapaki kembali langkah kaki menyusuri satu demi satu kenangan yang pernah ada. Setiap jalan dan lorong menjadi saksi rangkaian cerita yang pernah terukir. Gerbang sekolah yang mengingatkanku saat-saat terlambat masuk sekolah dengan Fareska. UKS yang mengingatkanku pada Ita, saat-saat kami latihan PMR bersama. Kelas-kelas yang mebuatku selalu ingin tertawa karena Hemi selalu menjadi kawan senasib karena bosannya pelajaran di kelas kami tertidur saat pelajaran berlangsung. Dan Hana orang yang keibuan dan selalu menjadi tempatku menangis saat aku patah hati dengan Faisal. Semua itu tak akan pernah hilang dalam ingatanku.
Kuteruskan langkah kaki ini menuju kantin yang kini berubah menjadi lahan parkir siswa. Masih jelas suasananya, banyak siswa berlarian saat bel berbunyi. Mereka hilir mudik membawa makanan, hanya sekedar minum atau mengobrol saja. Kuraih sebuah foto di tas, ada aku, Hana. Ita, Fareska, dan Hemi, teringat pula akan janji kami:
“.......5 tahun lagi, janji ya... kita ketemu lagi di sini, tepat dimana kita duduk sekarang. Apapun yang terjadi kita semua harus datang.”
Begitulah janji kami dan inilah aku Anya. _
05-05-2010 | “Anya........ Dicariin tuh sama Pak Wandi,” ungkap salah seorang teman kelompok belajar. Aku memang sudah lama tidak datang saat pertemuan kelompok. Aku merasa tak lagi nyaman berada di dalamnya. Rasa dikucilkan dan tidak diterima oleh anggota lainnya begitu dominan. Selama ini aku hanya diam dan tak ingin menyampaikan pada sahabatku.
Akan ada pameran seni di Jakarta 2 minggu lagi. Pak Wandi membagi anggota kelompok belajar menjadi kelompok kecil, dimana kami bertugas membuat sebuah karya seni. Aku tak terlalu senang mendengarnya, karena sesuai dugaan aku ditinggalkan rekan satu timku dan mengerjakannya sendri. Tak masalah, akan kujadikan Ini sebagai kesempatan untuk membuktikan kepada mereka kalau aku bisa membuat sesuatu yang berharga.
Keempat sahabatku ini mengetahui kondisi ini dan diam-diam menyusun rencana untukku. Mereka memahami bahwa dalam waktu yang sesingkat itu cukup susah menyelesaikan tugas Pak Wandi. Mereka diam-diam mengawasiku. Memang pekerjaan ini sangat susah apalagi waktu tersisa 2 hari saja dan aku belum juga menyelesaikannya. Semangatku kian hari memudar dan lebih baik mengatakan kepada Pak Wandi untuk mundur saja. Sebelum itu terjadi, keempat sahabatku mengajakku ke halaman rumah Hana. Karyaku yang setengah jadi diselesaikan oleh mereka. Ini adalah sebuah kejutan yang sangat luar biasa bagiku.
Mereka meyakinkanku bahwa mereka adalah rumah bagiku yang bisa kujadikan tempat berbagi cerita, kembali saat letih, dan berteduh dari semua masalah yang ada di luar sana. Mereka menyambutku dengan pelukan hangat. Tak terasa air mata ini menetes haru. Betapa beruntungnya aku memiliki mereka di dunia ini. Kami pun menyelesaikan karya itu dan segera mengumpulkan kepada Pak Wandi.
27 Mei 2010, ada kabar gembira bahwa karya yang kukumpulkan mendapat juara 3. Teman-teman yang tadinya memandang remeh padaku, berubah drastis dan baik kepadaku. Kukatakan pada mereka bahwa sekalipun banyak orang yang meninggalkanku tapi selalu ada sahabat yang mengerti dan melakukan yang terbaik untuk sahabatnya, bukan meninggalkannya.
Aku segera menyampaikan kabar gembira ini pada keempat sahabatku dan mengajak mereka ke kantin. Kutrakktir mereka semua dengan makanan yang mereka sukai. Mereka sangat bahagia mendengarkan kabar tersebut. Di tengah-tengah canda tawa kami, terlintas pikiran bahwa suatu ketika kami akan berpisah dan saat-saat seperti ini akan sangat jarang kami temukan. Kutanyakan pada mereka satu per satu apa rencana dan impian mereka ke depan. Hana dan Ita yang ingin menjadi seorang dokter, Hemi yang ingin pergi ke Jepang, Fareska yang ingin melanjutkan studinya di luar negeri. Kami terhanyut dalam rencana-rencana itu. Hingga di suatu momen, kami semua terdiam dan menyadari bahwa impian kami masing-masing akan memisahkan kami semua. Kami saling menatap dan seolah berkata bahwa kami tak ingin berpisah.
“Guys, apapun impian kalian, terbanglah tinggi dan raih impian itu. Kita masih bisa terus berkomunikasi dan bertemu kan suatu saat nanti? Kira-kira 5 tahun lagi sudah seperti apa ya kita semua? Ehmmm, gimana kalau kita bertemu 5 tahun lagi. Di sini tepat dimana kita duduk sekarang. Pasti banyak hal yang terjadi pada diri kita masing-masing, dan saat itu tiba kita luapkan kerinduan dan siapkan cerita kalian. Bagaimana?”
27-05-2015 | 03:00 p.m. | Aku masih sendiri saat ini, belum ada yang datang diantara mereka. Mungkin mereka tak datang karena kesibukan mereka masing-masing. Tiba-tiba ada pak satpam yang datang menghampiriku dan mengatakan untuk pergi ke depan gerbang.
“TARAAAAAAA!!!!! Kejutan!!!!!!” Begitu teriakan keempat sahabatku sambil membawa bingkisan besar berisi kumpulan foto kami berlima selama 5 tahun ini. Sungguh, mereka selalu bisa membuatku terkejut dan meneteskan air mata bahagia. Mereka sudah menyiapkan semua ini untuk pertemuan kami yang sangat berharga ini. Kami saling berpelukan melepas rindu.

Anya, Fareska, Hana, Ita, dan Hemi..... Sejauh apapun kami melangkah, selalu ada rumah tempat kami kembali, meluapkan susah dan duka, berbagi cerita, dan tempat kami menemukan kedamaian di saat derasnya masalah yang ada di luar sana. Kalian adalah rumah bagiku dan aku adalah rumah bagi kalian. Kalian sahabatku, adalah hadiah terindah yang Tuhan kirimkan untukku.Terimakasih J

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Markas Rahasia

Ada sekelompok kunang-kunang terbang di sekitarku. Seolah mereka melambaikan tangannya supaya aku mengikutinya. Kujulurkan tangan tetapi mereka terus berlalu, hingga kami sampai di sebuah gubuk kecil yang dikelilingi pepohonan. Drum...drum..drum... Seekor kucing berdasi menabuh drum. Ada beberapa kucing lain bersorak-sorai. Kemudian datang seekor kelinci berkacamata melompat-lompat sambil memunguti wortel yang tergeletak di sepanjang jalan. Ada pula gajah yang duduk manis di bawah pohon dengan sesekali menyemprotkan air kolam ke penonton. Semua tertawa bahagia berkumpul di tengah hutan tempat biasa mereka melakukan pertunjukkan. “Rey, apa sih yang kamu lakukan? Kakak nggak ngerti deh,” suara Kak Fitri yang mengagetkanku. Seketika hutan dan segala yang kulihat di dalamnya menjadi sirna. Kunang-kunang sebagai penunjuk jalanku pun menghilang. Suara kak Fitri mampu menarikku kembali ke ruang kelas dimana aku belajar. Tepat di sampingku tak ada lagi si kucing berdasi, hany...

Eja (2)

Balonku ada lima. Rupa-rupa warnya... Begitulah lirik lagu yang dinyanyikan Kak Fitri dengan lembut tepat di samping telingaku. Lagu balon adalah lagu kesukaanku. Kak Fitri menyanyikannya dengan sangat pelan sehingga aku harus benar-benar diam untuk dapat mendengarkan suaranya. Sembari mendengarkan kak Fitri bernyanyi, aku belajar menulis dituntun olehnya. Tangan kanannya menggenggam tanganku yang kecil ini dan perlahan dituntun untuk menebali tiap kata yang ada tertera di buku. Tangan kirinya melingkupi kepalaku, agar aku dapat berkonsentrasi melihat ke arah buku. AAAAArrrrgggghhhhh........ Tiba-tiba teriakan dari Gerry, teman sekelasku, memecah seluruh konsentrasiku. Seekor tawon terbang sangat rendah di sekitar kami. Gerry yang menyadari keberadaan si tawon lantas berlari mencari tempat persembunyian. Sedangkan aku duduk terpaku di bangku karena kak Fitri terus menjagaku agar tidak berlarian selama pelajaran berlangsung. Ada kekhawatiran bahwa si tawon akan mengha...