Ada sekelompok kunang-kunang terbang di sekitarku. Seolah
mereka melambaikan tangannya supaya aku mengikutinya. Kujulurkan tangan tetapi
mereka terus berlalu, hingga kami sampai di sebuah gubuk kecil yang dikelilingi
pepohonan.
Drum...drum..drum...
Seekor kucing berdasi menabuh drum. Ada beberapa kucing lain bersorak-sorai. Kemudian datang seekor kelinci berkacamata melompat-lompat sambil memunguti wortel yang tergeletak di sepanjang jalan. Ada pula gajah yang duduk manis di bawah pohon dengan sesekali menyemprotkan air kolam ke penonton. Semua tertawa bahagia berkumpul di tengah hutan tempat biasa mereka melakukan pertunjukkan.
“Rey, apa sih yang kamu lakukan? Kakak nggak ngerti deh,” suara Kak Fitri yang mengagetkanku.
Seketika hutan dan segala yang kulihat di dalamnya menjadi
sirna. Kunang-kunang sebagai penunjuk jalanku pun menghilang. Suara kak Fitri
mampu menarikku kembali ke ruang kelas dimana aku belajar. Tepat di sampingku
tak ada lagi si kucing berdasi, hanya seorang gadis muda yang nampak kesal.
“Rey, ayo belajar lagi,” ajak kak Fitri dengan sigap meraih
tanganku untuk memegang pensil. Tangan kiri kak Fitri melingkupi kepala agar
aku bisa fokus melihat buku saja. Nampaknya ada yang aneh keluar dari buku
tulis di hadapanku ini. Kunang-kunang kecil bermunculan dan seakan mengajakku pergi
ke hutan itu kembali. Aku terbang bersama kunang-kunang. Tak bisa kuungkapkan
perasaan ini. Jantungku berdegup kencang seolah mengabarkan ada petualangan
seru yang akan kuhampiri. Akan tetapi, tiba-tiba badanku menjadi berat dan aku
tak bisa melayang bersama mereka.
“Rey, cukup!” tegas
kak Fitri dengan nada cukup tinggi. Kedua tangannya memegangi tanganku dan
badannya menahan badanku, lalu dia menuntunku kembali duduk di bangku. Entah
apa yang kulakukan, sebelumnya aku melihat buku tulisku tetapi sekarang aku
sudah berdiri di depan pintu kelas. Sepertinya kak Fitri kesal. Namun, aku
lebih kesal daripada dia. Semua keasyikan yang sedang kurasakan lenyap bersama
hilangnya kunang-kunang. Seketika mukaku memerah dan aku melirik tajam ke arah
kak Fitri. Aku tak bisa mempawangi rasa kecewa yang sedang kurasakan ini.
Tanpa menghiraukan apapun yang dikatakan kak Fitri, aku
berlari menuju meja berwarna merah muda, yang tingginya sepinggang orang dewasa,
yang ada di dekat jendela kelas. Kusingkapkan taplak orange yang menyelimuti
meja. Aku pun masuk di bawah kolong meja dan kutarik kembali taplak meja agar
menjuntai menutupi wajahku. Di bawah meja ini tenang rasanya dan aku bisa
melihat sejuta kunang-kunang yang cantik terbang ke sana kemari. Perlahan namun
pasti, hutan, kucing dan seluruh hewan tadi kembali muncul di hadapanku. Kusunggingkan
senyuman lebar lalu bersorak-sorai bersama mereka. Aku pun turut menari dan
bernyanyi. Sesekali aku menirukan gaya kucing berdasi untuk memainkan drum atau
gajah yang menyemprotkan air.
Kak Fitri seakan mengerti dan memberiku ruang untuk diriku
dan imajinasiku. Untuk beberapa saat, aku menikmati sajian indah di bawah
kolong meja, yang kemudian kusebut tempat itu sebagai Markas Rahasia.
#30dwcjilid5
#days6
Komentar
Posting Komentar