Langsung ke konten utama

Eja (1)

-Sudut Pandang yang jarang terlihat oleh kebanyakan orang-



“Buk...buk..buk...(baca: Boot, nama julukan untuk sebuah boneka monyet),” ucapku.
Seorang gadis muda menyahut, “Ibuk? (baca: ibu)”.
Akupun hanya terdiam dan bergumam dalam hati, bukan itu yang kumaksudkan.

Boot ini merupakan sebuah karakter monyet kecil yang banyak akal dari film kartun yang setiap hari kutonton di televisi. Saking kagumnya aku akan Boot ini, aku suka menirukan gaya dan kecerdikan akalnya. Hingga pada suatu hari mama membelikanku boneka Boot yang menjadi sahabat baikku dan mengikuti aktivitasku bahkan sampai aku tidur.

Aku tak tahu apalagi yang harus kukatakan. Mungkin aku harus memeperagakan sebuah gerakan supaya gadis itu bisa mengerti. Aku segera beranjak dari bangku dan menarik tanganya. Dia menoleh ke arahku. Kuperagakan sebuah aktivitas Boot yang biasa kulihat di televisi.

Masih saja gadis itu kebingungan dan tak mengerti. Ah, sudahlah mengapa begitu susah menyampaikan kepadanya bahwa aku ingin diambilkan boneka Boot yang ada di atas lemari. Bagaimana mungkin aku bisa mengambilnya, bahkan lemari itu tingginya dua kali tinggiku yang masih anak TK ini.

Tuhan mungkin meemberikanku sebuah keterbatasan berupa keterlambatan bicara sehingga aku sangat susah meyampaikan kepada seseorang apa yang ingin kuceritakan dengan begitu mudah seperti teman-temanku lainnya, tapi Tuhan tak begitu saja membiarkanku kesusahan dan menganugerahkanku akal yang terus berputar layaknya mesin jam yang menggerakkan detiknya. 

Kuambil sebuah bola kecil dan kulempar ke arah atas lemari.
‘Praaaaaaanng’ sebuah raket kecil yang sudah kusam terjatuh ke lantai dan seketika membuat gadis itu terkejut dan melihat ke arah sumber suara. Dengan sedikit mengomel gadis itu mengambil raket yang terjatuh dan menghampiriku yang hanya berdiri terdiam di depan lemari. Wajah gadis itu seolah dia sedang sangat sebal, tapi seketika berubah saat melihatku. Entah bisikan apa yang membuatnya melihat ke atas lemari dan menemukan Boot. Gadis itu terdiam sebentar sambil melihat ke arahku. Dengan tanggap aku menunjuk ke arah Boot. Kemudian gadis itu tersenyum dan meraih Boot dalam genggangam tangannya.

“Oh, buk yang kamu maksudkan itu Boot, Rey?” ucap gadis itu sembari memberikan boneka Boot kepadaku.

“Iyak..(baca: iya),” jawabku sambil tersenyum padanya, “...sik (baca: terimakasih).”

“Sama-sama, Rey,” jawab gadis itu. Kemudian iya tersenyum sambil memeluk tubuh kecilku ini.


Dalam pelukannya yang hangat itu kupanggil namanya sambil mencium pipinya sebagai ungkapan terimakasihku, “...dididik (baca: Fitri),” begitulah aku memanggil gadis itu.

#30dwcjilid5 #day1

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Markas Rahasia

Ada sekelompok kunang-kunang terbang di sekitarku. Seolah mereka melambaikan tangannya supaya aku mengikutinya. Kujulurkan tangan tetapi mereka terus berlalu, hingga kami sampai di sebuah gubuk kecil yang dikelilingi pepohonan. Drum...drum..drum... Seekor kucing berdasi menabuh drum. Ada beberapa kucing lain bersorak-sorai. Kemudian datang seekor kelinci berkacamata melompat-lompat sambil memunguti wortel yang tergeletak di sepanjang jalan. Ada pula gajah yang duduk manis di bawah pohon dengan sesekali menyemprotkan air kolam ke penonton. Semua tertawa bahagia berkumpul di tengah hutan tempat biasa mereka melakukan pertunjukkan. “Rey, apa sih yang kamu lakukan? Kakak nggak ngerti deh,” suara Kak Fitri yang mengagetkanku. Seketika hutan dan segala yang kulihat di dalamnya menjadi sirna. Kunang-kunang sebagai penunjuk jalanku pun menghilang. Suara kak Fitri mampu menarikku kembali ke ruang kelas dimana aku belajar. Tepat di sampingku tak ada lagi si kucing berdasi, hany...

Eja (2)

Balonku ada lima. Rupa-rupa warnya... Begitulah lirik lagu yang dinyanyikan Kak Fitri dengan lembut tepat di samping telingaku. Lagu balon adalah lagu kesukaanku. Kak Fitri menyanyikannya dengan sangat pelan sehingga aku harus benar-benar diam untuk dapat mendengarkan suaranya. Sembari mendengarkan kak Fitri bernyanyi, aku belajar menulis dituntun olehnya. Tangan kanannya menggenggam tanganku yang kecil ini dan perlahan dituntun untuk menebali tiap kata yang ada tertera di buku. Tangan kirinya melingkupi kepalaku, agar aku dapat berkonsentrasi melihat ke arah buku. AAAAArrrrgggghhhhh........ Tiba-tiba teriakan dari Gerry, teman sekelasku, memecah seluruh konsentrasiku. Seekor tawon terbang sangat rendah di sekitar kami. Gerry yang menyadari keberadaan si tawon lantas berlari mencari tempat persembunyian. Sedangkan aku duduk terpaku di bangku karena kak Fitri terus menjagaku agar tidak berlarian selama pelajaran berlangsung. Ada kekhawatiran bahwa si tawon akan mengha...

Filosofi Rumah

Layaknya seekor burung, membuat sarang untuk tempat mereka berteduh, berbagi makanan dan tumbuh bersama dengan orang yang dicintai. Sejauh apapun burung terbang, dia akan kembali di waktu senja ke sarangnya. Sekalipun harus pergi lagi, tetapi ada rumah yang terbuka untuk mereka kembali. Seperti itulah rumah....                                 27-05-2015 | 02:00 p.m. |Kutapaki kembali langkah kaki menyusuri satu demi satu kenangan yang pernah ada. Setiap jalan dan lorong menjadi saksi rangkaian cerita yang pernah terukir. Gerbang sekolah yang mengingatkanku saat-saat terlambat masuk sekolah dengan Fareska. UKS yang mengingatkanku pada Ita, saat-saat kami latihan PMR bersama. Kelas-kelas yang mebuatku selalu ingin tertawa karena Hemi selalu menjadi kawan senasib karena bosannya pelajaran di kelas kami tertidur saat pelajaran berlangsu...