Balonku ada lima.
Rupa-rupa warnya...
Begitulah lirik lagu yang dinyanyikan Kak Fitri dengan
lembut tepat di samping telingaku. Lagu balon adalah lagu kesukaanku. Kak Fitri
menyanyikannya dengan sangat pelan sehingga aku harus benar-benar diam untuk
dapat mendengarkan suaranya. Sembari mendengarkan kak Fitri bernyanyi, aku
belajar menulis dituntun olehnya. Tangan kanannya menggenggam tanganku yang
kecil ini dan perlahan dituntun untuk menebali tiap kata yang ada tertera di
buku. Tangan kirinya melingkupi kepalaku, agar aku dapat berkonsentrasi melihat
ke arah buku.
AAAAArrrrgggghhhhh........
Tiba-tiba teriakan dari Gerry, teman sekelasku, memecah
seluruh konsentrasiku. Seekor tawon terbang sangat rendah di sekitar kami.
Gerry yang menyadari keberadaan si tawon lantas berlari mencari tempat
persembunyian. Sedangkan aku duduk terpaku di bangku karena kak Fitri terus
menjagaku agar tidak berlarian selama pelajaran berlangsung. Ada kekhawatiran
bahwa si tawon akan menghampiri dan menggigitku. Rasa ini menjadi semakin
mencekam saat si tawon terbang semakin rendah. Temanku yang lain saling berteriak
kemudian bersembunyi di bawah meja. Aku hanya mampu menatap si tawon dengan penuh
siaga. Kurasakan ketakutan yang sangat besar mengalir ke seluruh aliran
darahku.
“.....dididik (baca: kak Fitri),” aku memanggil kak Fitri
dengan lantang,”...kuk...”
“Ikut?” tegas kak Fitri atas ucapanku sebelumnya.
“.....kuk...kuk....kuk....,” ucapku dengan sangat cepat.
“Lah, iya, kamu mau ikut kemana? Kak Fitri nggak kemana-mana,” ucap kak Fitri
dengan sedikit menaikkan nada bicaranya.
“....kuk...kuk...kuk...kuk....” ucapku kembali sambil
menunjuk ke arah si tawon.
“Itu tawon Rey. Apa sih maksud kamu? Kakak nggak ngerti,” kak Fitri menanggapi.
Aku terus ketakutan dengan hadirnya si tawon hitam itu. Berkali-kali
kucoba mengungkapkan perasaan ini kepada kak Fitri, namun dia tak mengerti.
Saking takutnya, tanpa sadar celanaku menjadi basah. Bukan karena ada air minum
yang tumpah, tapi air itu berasal dari saluran kencingku.
“....dididik (baca: kak Fitri),” aku memanggil kak Fitri
sambil menarik bajunya, “....pibik.”
“Bibik? Ya, di rumah donk. Bibik masak di rumah, nggak ikut Rey ke sekolah. Rey belajar di
sekolah, nggak boleh cari bibik,”
tegas kak Fitri yang. Bibik ini pengasuhku sejak bayi.
Aku menggerang dan menggelengkan kepala. Sekali lagi, kak
Fitri hanya terdiam dan nampak bingung melihat tingkahku. Sesaat aku hampir
menyerah menjelaskan kepada kak Fitri kalau aku pipis. Celana yang basah ini
membuatku sangat tidak nyaman, aku berusaha lagi agar kak Fitri bisa mengerti.
“...dididik (baca: kak Fitri),” aku memanggil kak Fitri
sambil memegangi celanaku.
“Ada apa Rey?” tanya kak Fitri sambil memperhatikanku,”Kamu
mau pipis?”
Nampaknya kak Fitri mengerti. “..iiiiiyaaaaak (baca:
iya),”jawabku dengan sangat antusias.
“Apa kamu tadi bilang ‘pibik’ itu kamu mau pipis. Ehmmm, apa
karena kamu takut tawon? Makanya kamu bilang ‘kuk’ yang berarti takut,” kak
Fitri berbicara sendiri menerka arti semua kejadian barusan.
“...iiiyaaak,” jawabku.
Kemudian kak Fitri mengajakku ke kamar mandi.
#30dwcjilid5
#days5
Komentar
Posting Komentar