Langsung ke konten utama

Eja (2)



Balonku ada lima. Rupa-rupa warnya...

Begitulah lirik lagu yang dinyanyikan Kak Fitri dengan lembut tepat di samping telingaku. Lagu balon adalah lagu kesukaanku. Kak Fitri menyanyikannya dengan sangat pelan sehingga aku harus benar-benar diam untuk dapat mendengarkan suaranya. Sembari mendengarkan kak Fitri bernyanyi, aku belajar menulis dituntun olehnya. Tangan kanannya menggenggam tanganku yang kecil ini dan perlahan dituntun untuk menebali tiap kata yang ada tertera di buku. Tangan kirinya melingkupi kepalaku, agar aku dapat berkonsentrasi melihat ke arah buku.

AAAAArrrrgggghhhhh........

Tiba-tiba teriakan dari Gerry, teman sekelasku, memecah seluruh konsentrasiku. Seekor tawon terbang sangat rendah di sekitar kami. Gerry yang menyadari keberadaan si tawon lantas berlari mencari tempat persembunyian. Sedangkan aku duduk terpaku di bangku karena kak Fitri terus menjagaku agar tidak berlarian selama pelajaran berlangsung. Ada kekhawatiran bahwa si tawon akan menghampiri dan menggigitku. Rasa ini menjadi semakin mencekam saat si tawon terbang semakin rendah. Temanku yang lain saling berteriak kemudian bersembunyi di bawah meja. Aku hanya mampu menatap si tawon dengan penuh siaga. Kurasakan ketakutan yang sangat besar mengalir ke seluruh aliran darahku.

“.....dididik (baca: kak Fitri),” aku memanggil kak Fitri dengan lantang,”...kuk...”

“Ikut?” tegas kak Fitri atas ucapanku sebelumnya.

“.....kuk...kuk....kuk....,” ucapku dengan sangat cepat.

“Lah, iya, kamu mau ikut kemana? Kak Fitri nggak kemana-mana,” ucap kak Fitri dengan sedikit menaikkan nada bicaranya.

“....kuk...kuk...kuk...kuk....” ucapku kembali sambil menunjuk ke arah si tawon.

“Itu tawon Rey. Apa sih maksud kamu? Kakak nggak ngerti,” kak Fitri menanggapi.

Aku terus ketakutan dengan hadirnya si tawon hitam itu. Berkali-kali kucoba mengungkapkan perasaan ini kepada kak Fitri, namun dia tak mengerti. Saking takutnya, tanpa sadar celanaku menjadi basah. Bukan karena ada air minum yang tumpah, tapi air itu berasal dari saluran kencingku.

“....dididik (baca: kak Fitri),” aku memanggil kak Fitri sambil menarik bajunya, “....pibik.”

“Bibik? Ya, di rumah donk. Bibik masak di rumah, nggak ikut Rey ke sekolah. Rey belajar di sekolah, nggak boleh cari bibik,” tegas kak Fitri yang. Bibik ini pengasuhku sejak bayi.

Aku menggerang dan menggelengkan kepala. Sekali lagi, kak Fitri hanya terdiam dan nampak bingung melihat tingkahku. Sesaat aku hampir menyerah menjelaskan kepada kak Fitri kalau aku pipis. Celana yang basah ini membuatku sangat tidak nyaman, aku berusaha lagi agar kak Fitri bisa mengerti.

“...dididik (baca: kak Fitri),” aku memanggil kak Fitri sambil memegangi celanaku.

“Ada apa Rey?” tanya kak Fitri sambil memperhatikanku,”Kamu mau pipis?”

Nampaknya kak Fitri mengerti. “..iiiiiyaaaaak (baca: iya),”jawabku dengan sangat antusias.

“Apa kamu tadi bilang ‘pibik’ itu kamu mau pipis. Ehmmm, apa karena kamu takut tawon? Makanya kamu bilang ‘kuk’ yang berarti takut,” kak Fitri berbicara sendiri menerka arti semua kejadian barusan.

“...iiiyaaak,” jawabku.


Kemudian kak Fitri mengajakku ke kamar mandi.

#30dwcjilid5
#days5

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Markas Rahasia

Ada sekelompok kunang-kunang terbang di sekitarku. Seolah mereka melambaikan tangannya supaya aku mengikutinya. Kujulurkan tangan tetapi mereka terus berlalu, hingga kami sampai di sebuah gubuk kecil yang dikelilingi pepohonan. Drum...drum..drum... Seekor kucing berdasi menabuh drum. Ada beberapa kucing lain bersorak-sorai. Kemudian datang seekor kelinci berkacamata melompat-lompat sambil memunguti wortel yang tergeletak di sepanjang jalan. Ada pula gajah yang duduk manis di bawah pohon dengan sesekali menyemprotkan air kolam ke penonton. Semua tertawa bahagia berkumpul di tengah hutan tempat biasa mereka melakukan pertunjukkan. “Rey, apa sih yang kamu lakukan? Kakak nggak ngerti deh,” suara Kak Fitri yang mengagetkanku. Seketika hutan dan segala yang kulihat di dalamnya menjadi sirna. Kunang-kunang sebagai penunjuk jalanku pun menghilang. Suara kak Fitri mampu menarikku kembali ke ruang kelas dimana aku belajar. Tepat di sampingku tak ada lagi si kucing berdasi, hany...

Filosofi Rumah

Layaknya seekor burung, membuat sarang untuk tempat mereka berteduh, berbagi makanan dan tumbuh bersama dengan orang yang dicintai. Sejauh apapun burung terbang, dia akan kembali di waktu senja ke sarangnya. Sekalipun harus pergi lagi, tetapi ada rumah yang terbuka untuk mereka kembali. Seperti itulah rumah....                                 27-05-2015 | 02:00 p.m. |Kutapaki kembali langkah kaki menyusuri satu demi satu kenangan yang pernah ada. Setiap jalan dan lorong menjadi saksi rangkaian cerita yang pernah terukir. Gerbang sekolah yang mengingatkanku saat-saat terlambat masuk sekolah dengan Fareska. UKS yang mengingatkanku pada Ita, saat-saat kami latihan PMR bersama. Kelas-kelas yang mebuatku selalu ingin tertawa karena Hemi selalu menjadi kawan senasib karena bosannya pelajaran di kelas kami tertidur saat pelajaran berlangsu...