Langsung ke konten utama

Kukik Berarti Kucing

Pagi itu gemuruh terdengar suara anak-anak TK yang sedang berdoa. Bersahutan melantunkan ayat-ayat Tuhan dan sesekali terdengar suara ibu guru yang memandu melalui pengeras suara. Semua anak nampak antuasias, kecuali aku.

“Rey, ayo berdoa,” ucap kak Fitri kepadaku sambil menengadahkan tangannya.

Aku hanya memandanginya sayu, kemudian tangan lembutnya menggampai dan membantuku menengadahkan tangan. Aku melihat langit-langit kelas tanpa sedikitpun mengeluarkan suara, berdoa atau apapun itu. Pikiranku melalang buana ke dimensi yang berbeda dari tempatku berpijak sekarang. 

Sebuah pesawat kecil yang selalu kulihat di film kartun seketika datang dan mempersilahkanku masuk. Tanpa pikir panjang kulangkahkan kaki masuk ke dalam pesawat. Hanya satu pertanyaanku tentang pesawat ini, apakah aku akan mendapatkan susu jika masuk ke dalamnya? Tidak akan ada yang tahu kalau aku tak mencoba masuk. Kuhitung setiap langkah kaki ini, satu, dua, tiga, empat, lima, dan luar biasa apa yang kulihat ini....

“Rey!” suara kak Fitri yang terdengar lantang, “Ayo beri salam ke bu guru!”

Tanpa kusadari sesi berdoa telah selesai dan aku melewatkan semua itu. Untung saja ada suara kak Fitri yang membawaku kembali ke dalam ruang kelas yang penuh warna ini.

“.....ikuk...bu iyu (baca: assalamualaikum bu wahyu),” ucapku dengan lantang.

Kak Fitri mengajakku mengambil crayon dan buku gambar, tapi aku tak mau. Kak Fitri seakan kesal padaku dan beranjak mengambilkan crayon beserta buku gambar untukku. Aku tak pernah ambil pusing apakah kak Fitri kesal padaku atau tidak. Satu hal yang pasti, keinginanku harus kudapatkan tapi kadang kak Fitri tak bisa memahaminya. Seharusnya aku yang kesal padanya.

Aku hanya terdiam, sekalipun saat bu guru ataupun kak Fitri memintaku menggambar. Aku sedang tidak ingin menggambar atau melakukan apapun, itulah yang kuinginkan agar mereka mengerti. Hal ini tidak lantas membuat kak Fitri menyerah. Dia meraih tangan kananku dan meletakkan crayon berwarna merah di jemariku.

“Rey, ayo menggambar sapi,” rayu kak Fitri, “Kita bikin sapi yang besar ya.”

“.....apik (baca: sapi)?” sahutku sambil tertawa kemudian. Aku memang suka sekali dengan sapi, apalagi minum susu sapi. Kak Fitri memang selalu tahu apa yang kusukai.

Kubiarkan jemari kak Fitri menggenggam jemari-jemari kecil ini dan menuntunnya menggambar sapi. Ternyata benar, seekor sapi yang lucu tergores di atas kertas putih.

“....dididik.....usuk apik (baca: Fitri, susu sapi),” celotehku.

“Iya ini sapi, terus bisa menghasilkan susu, yang biasa Rey minum,” kak Fitri menyahutku dengan lembut.

“......en-nyak (baca: enak),” tegasku, bahwa susu sapi itu rasanya enak.

“Lalu kita menggambar kucing ya, Rey,” rayu kak Fitri.

Saat mendengarkan kata kucing, aku langsung teringat tokoh kucing yang kulihat di film kartun. Tanpa pikir panjang aku langsung berdiri dan memeragakan bagaimana tingkah tokoh kucing itu.

“....dididik, kukik.... (baca: Fitri, kucing),” aku memberitahu kak Fitri tentang kucing.

“Kucing?” sahut kak Fitri.

“Iyak (baca: iya),”  jawabku sembari tersenyum.

Lalu aku meneruskan memeragakan apa yang tokoh kucing itu lakukan.

“Apa sih Rey yang kamu lakukan?” tanya kak Fitri dengan kebingungan.

Aku terus memeragakannya sampai dia mengerti.

“Gitar?” tanya kak Fitri.

“...iyak (baca: iya),” jawabku.

Kemudian aku melanjutkan gerakan yang lain.

“Minum?” tanya kak Fitri.

Aku hanya diam sambil menggelengkan kepala. Ingin sekali berkata kepada kak Fitri bukan itu yang kumaksudkan, tetapi susah sekali kata-kata itu keluar dari mulutku ini atau entah istilah apa yang harus kugunakan untuk menyampaikannya. Aku memeragakan lagi sampai Kak Fitri mengerti.

“Terompet?” tanya kak Fitri.

“...iyak (baca: iya),” jawabku lantang sambil tertawa.

“Oh, maksud kamu ada kucing yan bermain gitar dan meniup terompet, gitu?” tegas kak Fitri.

Sekali lagi aku menjawab dengan lantang dan tertawa terbahak-bahak,”iiiiiiiyaaaaaak (baca: iya)”.
Puas rasanya saat ada seseorang mengerti apa yang ingin kusampaikan. Walau terasa susah untuk berceolteh seperti kebanyakan anak, tapi aku tak pernah berhenti untuk terus berceloteh. Karena ada kak Fitri yang selalu dapat mengerti apa yang kukatakan, walau terkadang butuh waktu yang lama. Kata bu guru aku seperti berpantomim dan kak Fitri yang mencoba menebaknya. Kami semua terbahak-bahak karenanya.


“Rey, sudah cukup ceritanya, ayo belajar lagi!” kata kak Fitri.



#30dwcjilid5
#days2

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Markas Rahasia

Ada sekelompok kunang-kunang terbang di sekitarku. Seolah mereka melambaikan tangannya supaya aku mengikutinya. Kujulurkan tangan tetapi mereka terus berlalu, hingga kami sampai di sebuah gubuk kecil yang dikelilingi pepohonan. Drum...drum..drum... Seekor kucing berdasi menabuh drum. Ada beberapa kucing lain bersorak-sorai. Kemudian datang seekor kelinci berkacamata melompat-lompat sambil memunguti wortel yang tergeletak di sepanjang jalan. Ada pula gajah yang duduk manis di bawah pohon dengan sesekali menyemprotkan air kolam ke penonton. Semua tertawa bahagia berkumpul di tengah hutan tempat biasa mereka melakukan pertunjukkan. “Rey, apa sih yang kamu lakukan? Kakak nggak ngerti deh,” suara Kak Fitri yang mengagetkanku. Seketika hutan dan segala yang kulihat di dalamnya menjadi sirna. Kunang-kunang sebagai penunjuk jalanku pun menghilang. Suara kak Fitri mampu menarikku kembali ke ruang kelas dimana aku belajar. Tepat di sampingku tak ada lagi si kucing berdasi, hany

Filosofi Rumah

Layaknya seekor burung, membuat sarang untuk tempat mereka berteduh, berbagi makanan dan tumbuh bersama dengan orang yang dicintai. Sejauh apapun burung terbang, dia akan kembali di waktu senja ke sarangnya. Sekalipun harus pergi lagi, tetapi ada rumah yang terbuka untuk mereka kembali. Seperti itulah rumah....                                 27-05-2015 | 02:00 p.m. |Kutapaki kembali langkah kaki menyusuri satu demi satu kenangan yang pernah ada. Setiap jalan dan lorong menjadi saksi rangkaian cerita yang pernah terukir. Gerbang sekolah yang mengingatkanku saat-saat terlambat masuk sekolah dengan Fareska. UKS yang mengingatkanku pada Ita, saat-saat kami latihan PMR bersama. Kelas-kelas yang mebuatku selalu ingin tertawa karena Hemi selalu menjadi kawan senasib karena bosannya pelajaran di kelas kami tertidur saat pelajaran berlangsung. Dan Hana orang yang keibuan dan selalu menjadi tempatku menangis saat aku patah hati dengan Faisal. Semua itu tak akan pernah hilang dalam ingata

Eja (2)

Balonku ada lima. Rupa-rupa warnya... Begitulah lirik lagu yang dinyanyikan Kak Fitri dengan lembut tepat di samping telingaku. Lagu balon adalah lagu kesukaanku. Kak Fitri menyanyikannya dengan sangat pelan sehingga aku harus benar-benar diam untuk dapat mendengarkan suaranya. Sembari mendengarkan kak Fitri bernyanyi, aku belajar menulis dituntun olehnya. Tangan kanannya menggenggam tanganku yang kecil ini dan perlahan dituntun untuk menebali tiap kata yang ada tertera di buku. Tangan kirinya melingkupi kepalaku, agar aku dapat berkonsentrasi melihat ke arah buku. AAAAArrrrgggghhhhh........ Tiba-tiba teriakan dari Gerry, teman sekelasku, memecah seluruh konsentrasiku. Seekor tawon terbang sangat rendah di sekitar kami. Gerry yang menyadari keberadaan si tawon lantas berlari mencari tempat persembunyian. Sedangkan aku duduk terpaku di bangku karena kak Fitri terus menjagaku agar tidak berlarian selama pelajaran berlangsung. Ada kekhawatiran bahwa si tawon akan mengha