Langsung ke konten utama

Marah




Setiap hari tak selalu menyenangkan, adakalanya saat-saat dimana suasana hati yang berubah-ubah mengacaukan ketenangan hari.

“Rey, ayo duduk!” tegas kak Fitri yang mulai kelelahan menahan berat  tubuhku.

“....aeyu...gik..gigik...khkhkhkhkh...kakik..kakik,” aku mengeram dan berteriak kepada kak Fitri yang terus memegang tangannku erat.

Aku hanya ingin mengikuti bagaimana suasana hatiku saat ini. Rasanya ada gelora yang begitu besar dan mendorongku untuk terus bergerak dan berlari. Aku tak mengerti rasa apa itu, aku tak bisa mengendalikannya. Dorongan aneh yang menyelinap dalam tubuh kecilku ini tak kuasa lagi ku menahannya. Satu pukulan dari telapak tangan ini kulayangkan tepat pada muka kak Fitri, kemudian aku berlari tiada henti sembari teriak dan melempar semua benda yang ada di depanku. Saat aku meneriakkan segalanya, serasa satu per satu dorongan besar yang terperangkap dalam tubuh ini keluar. Kak Fitri tak lagi menahanku dan membiarkanku melakukan apapun yang kumau.

Lebih dari sepuluh putaran kuberlari mengelilingi ruang kelas, rasanya kaki ini mulai lemas. Kujatuhkan badan di atas lantai yang dingin. Ah, segar sekali rasanya. Kunikmati hembusan angin yang menerobos masuk melalui celah-celah pintu. Kubaringkan seluruh badan. Kemudian kulakukan ritual favorit yang membuatku sangat nyaman. Jari tangan kumasukan dalam mulut dan perlahan air liur menetes membasahi lantai.

Langkah kecil kak Fitri menghampiriku. Tanpa banyak bicara, dia menggapai jariku dan mengeluarkannya dari mulut. Untuk seketika aku lupa berada dimana saat semua ritual itu membuatku sangat nyaman.

Kak Fitri menggapai tanganku dan membantuku bangkit dari lantai. Aku tak bisa lagi melawan, serasa seluruh tenagaku telah terkuras. Kami berjalan bersama menuju bangku tempatku belajar. Kuteguk air putih yang ada di atas meja. Ah, rasanya segar sekali. Seketika aku mendapatkan tenaga lebih. 

Dengan lembut kak Fitri membantuku merapikan baju dan membasuh keringat yang bercucuran di kening. Setelah semua rapi, kak Fitri memelukku dengan hangat dan berkata, “Rey, hebat!” sambil menyatukan jempolnya dengan jempolku. Momen ini adalah hal yang sangat kusukai saat bersama kak Fitri. Satu ciuman kuberikan tepat di pipi manis kak Fitri, tak lupa kuberkata, “..asik (baca: terimakasih). 
Kak Fitri tersenyum padaku dan membalasku dengan ciuman di pipi kanan dan kiriku.

“Jangan marah-marah lagi ya, Rey,” ucap kak Fitri dengan lembut, “Ayo belajar lagi.”

“....iiiyaaaak (baca: iya),” jawabku dengan semangat, “...dididik, ae hebak (baca: kak Fitri, Rey Hebat).”

#30dwcjilid5
#days3



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Markas Rahasia

Ada sekelompok kunang-kunang terbang di sekitarku. Seolah mereka melambaikan tangannya supaya aku mengikutinya. Kujulurkan tangan tetapi mereka terus berlalu, hingga kami sampai di sebuah gubuk kecil yang dikelilingi pepohonan. Drum...drum..drum... Seekor kucing berdasi menabuh drum. Ada beberapa kucing lain bersorak-sorai. Kemudian datang seekor kelinci berkacamata melompat-lompat sambil memunguti wortel yang tergeletak di sepanjang jalan. Ada pula gajah yang duduk manis di bawah pohon dengan sesekali menyemprotkan air kolam ke penonton. Semua tertawa bahagia berkumpul di tengah hutan tempat biasa mereka melakukan pertunjukkan. “Rey, apa sih yang kamu lakukan? Kakak nggak ngerti deh,” suara Kak Fitri yang mengagetkanku. Seketika hutan dan segala yang kulihat di dalamnya menjadi sirna. Kunang-kunang sebagai penunjuk jalanku pun menghilang. Suara kak Fitri mampu menarikku kembali ke ruang kelas dimana aku belajar. Tepat di sampingku tak ada lagi si kucing berdasi, hany

Filosofi Rumah

Layaknya seekor burung, membuat sarang untuk tempat mereka berteduh, berbagi makanan dan tumbuh bersama dengan orang yang dicintai. Sejauh apapun burung terbang, dia akan kembali di waktu senja ke sarangnya. Sekalipun harus pergi lagi, tetapi ada rumah yang terbuka untuk mereka kembali. Seperti itulah rumah....                                 27-05-2015 | 02:00 p.m. |Kutapaki kembali langkah kaki menyusuri satu demi satu kenangan yang pernah ada. Setiap jalan dan lorong menjadi saksi rangkaian cerita yang pernah terukir. Gerbang sekolah yang mengingatkanku saat-saat terlambat masuk sekolah dengan Fareska. UKS yang mengingatkanku pada Ita, saat-saat kami latihan PMR bersama. Kelas-kelas yang mebuatku selalu ingin tertawa karena Hemi selalu menjadi kawan senasib karena bosannya pelajaran di kelas kami tertidur saat pelajaran berlangsung. Dan Hana orang yang keibuan dan selalu menjadi tempatku menangis saat aku patah hati dengan Faisal. Semua itu tak akan pernah hilang dalam ingata

Eja (2)

Balonku ada lima. Rupa-rupa warnya... Begitulah lirik lagu yang dinyanyikan Kak Fitri dengan lembut tepat di samping telingaku. Lagu balon adalah lagu kesukaanku. Kak Fitri menyanyikannya dengan sangat pelan sehingga aku harus benar-benar diam untuk dapat mendengarkan suaranya. Sembari mendengarkan kak Fitri bernyanyi, aku belajar menulis dituntun olehnya. Tangan kanannya menggenggam tanganku yang kecil ini dan perlahan dituntun untuk menebali tiap kata yang ada tertera di buku. Tangan kirinya melingkupi kepalaku, agar aku dapat berkonsentrasi melihat ke arah buku. AAAAArrrrgggghhhhh........ Tiba-tiba teriakan dari Gerry, teman sekelasku, memecah seluruh konsentrasiku. Seekor tawon terbang sangat rendah di sekitar kami. Gerry yang menyadari keberadaan si tawon lantas berlari mencari tempat persembunyian. Sedangkan aku duduk terpaku di bangku karena kak Fitri terus menjagaku agar tidak berlarian selama pelajaran berlangsung. Ada kekhawatiran bahwa si tawon akan mengha